Oli bekas sebagai residu dari kegiatan yang menggunakan mesin sebagai alat penggeraknya, baik itu mesin industri maupun mesin kendaraan bermotor, nampaknya masih bisa dimanfaatkan kembali oleh suatu industri yakni sebagai bahan bakar. 

Tentu saja penggunaan oli bekas ini sudah terlebih dahulu dilakukan penyaringan dan penggunaannya dimaksudkan untuk mengurangi aspek biaya tinggi jika dibandingkan dengan menggunakan oli baru.

Dengan nilai ekonomis yang masih dimilikinya tersebut, banyak pengusaha yang yang jeli dan faham yang memanfaatkannya, yang diatu sisi muncul pula pihak-pihak tertentu  yang berusaha menjadi pengepul dari sentra-sentra industri kecil maupun bengkel-bengkel dimana banyak dihasilkan oli bekas dari hasil penggantian oli pada mesin-mesin industri maupun mesin kendaraan bermotor, dan kemudian dijual lagi untuk keperluan industri.

Terlepas dari sisi ekonomisnya, maka oli bekas juga bersinggungan dengan ketentuan hukum terhadap para pengepul, pengangkut maupun pihak yang memanfaatkannya.

Menurut Pasal 1 angka (22) UUPPLH, pengertian Limbah B3 adalah: “sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3”, sedangkan pengertian Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) menurut Pasal 1 angka (21) UUPPLH, adalah: “zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain”.

Dengan mengacu pada ketentuan di atas, ternyata oli bekas merupakan salah satu jenis limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), sehingga dalam pengusahaannya diperlukan izin dari pemerintah sesuai dengan lingkup atau cakupan usahanya. Bila pengumpulan dilakukan secara nasional, maka izin dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, sedang yang berskala propinsi dilakukan oleh Gubernur, demikian juga bila skalanya kabupaten/kotamadya , maka izin dikeluarkan oleh Bupati/Walikota.  

Dalam Pasal 1 poin 23 UUPPLH dinyatakan bahwa Pengelolaan Limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, penganngkutan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau peniumbunan.

Didalam Pasal 59 (4) UUPPLH dinyatakan bahwa: “ Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Dalam lampiran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 02 tahun 2013, dinyatakan bahwa: Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup meliputi:


a.      Izin Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang meliputi:
      a. izin penyimpanan limbah B3
      b. izin pengumpulan limbah B3 
      c. izin pemanfaatab limbah B3 
      d. izin penyimpanan limbah B3
      e. izin pengolahan limbah B3
      f. izin penimbunan limbah B3
b. ..............................
c………………………..

Lalu apa konsekwensi hukumnya apabila seseorang atau sudatu badan hukum tidak memiliki izin dalam berusaha pengelolaan oli bekas ?. Maka berdasarkan ketentuan Pasal 102 UUPPLH, dinyatakan bahwa, setiap orang yang melakukan pengelolaan limbahB3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Hal ini telah pula ditetapkan dalam Pasal 63 PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun (PPLB3), yang berbunyi:
Barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 60 yang mengakibatkan dan/atau dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup diancam dengan pidana sebagaimana diatur pada Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, asal 46, dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), dengan demikian sejak berlakunya UUPPLH tanggal 3 Oktober 2009, maka ancaman pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 63 PPLB3 yaitu ketentuan pidana yang diatur dalam UUPPLH.